Saatnya Menata Ulang Tradisi Wisuda/Perpisahan di PAUD, SD, dan SMP

 

Oleh: Mariono,S.Pd.I.,M.Pd

Setiap akhir tahun ajaran, tak sedikit sekolah yang bersiap menyelenggarakan perpisahan atau wisuda. Panggung dihias meriah, anak-anak mengenakan toga mungil, para orang tua mempersiapkan kostum terbaik, bahkan menyewa fotografer profesional. Tak pelak, suasana pun berubah bak prosesi kelulusan di perguruan tinggi. Tapi, pertanyaannya: benarkah ini perlu?

Sejak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menerbitkan Surat Edaran Nomor 14 Tahun 2023, praktik wisuda di jenjang PAUD, SD, dan SMP kembali menjadi perbincangan hangat. Edaran itu bukan tanpa alasan. Ia hadir di tengah kekhawatiran bahwa kegiatan simbolik semacam ini justru mengarah pada komersialisasi pendidikan yang membebani orang tua.

Surat edaran yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah ini membawa pesan penting yang patut menjadi bahan renungan bagi semua pemangku kepentingan pendidikan. Isi utama dari edaran tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Kegiatan wisuda tidak boleh menjadi kewajiban atau membebani orang tua/wali murid dari sisi biaya.
  2. Jika kegiatan wisuda tetap dilaksanakan, maka harus melibatkan komite sekolah dan orang tua/wali dalam perencanaannya, sebagaimana diatur dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah.

Surat edaran ini diterbitkan sebagai bentuk keprihatinan atas kecenderungan komersialisasi pendidikan yang terjadi melalui kegiatan-kegiatan simbolik, seperti wisuda. Ini sejatinya menjadi pengingat yang bijak: bahwa pendidikan adalah ruang pertumbuhan, bukan ruang tuntutan gaya hidup.

Namun, banyak sekolah justru memilih tidak mengadakan wisuda sama sekali. Takut disalahartikan, enggan ambil risiko, bahkan cemas akan polemik yang mungkin muncul dari masyarakat atau pihak berwenang. Padahal, di sisi lain, ada harapan dari para siswa dan orang tua yang ingin merayakan pencapaian belajar meskipun secara sederhana.

Di sinilah dilemanya. Sekolah merasa terjepit antara tuntutan aturan dan keinginan komunitas. Mereka yang sebelumnya rutin mengadakan acara perpisahan tahunan kini terpaksa mengurungkan niatnya. Bukan karena tidak ingin memberi kenangan manis bagi siswa, melainkan karena belum terbangun pemahaman bersama: bahwa wisuda bisa bermakna tanpa harus mewah.

Mengutip pernyataan Ki Hajar Dewantara, “Pendidikan itu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak…” Maka, bukankah seharusnya kegiatan akhir tahun justru dirancang untuk memperkuat makna, bukan memperbesar gengsi?

Penting untuk diingat, surat edaran tersebut tidak serta-merta melarang kegiatan wisuda. Ia hanya mengingatkan kita semua untuk kembali pada esensi pendidikan: tidak memaksa, tidak membebani, dan mengutamakan nilai. Karena sesungguhnya, jika dilakukan dengan bijak, kegiatan perpisahan bisa tetap berlangsung—asal dengan musyawarah, transparansi, dan semangat gotong royong.

Kita tidak anti seremoni, tapi kita lebih mendukung makna daripada kemasan. Jika wisuda di jenjang PAUD, SD, atau SMP tetap ingin dilaksanakan, mari ubah konsepnya menjadi kegiatan reflektif dan inklusif. Libatkan semua pihak, buka ruang dialog dengan komite dan orang tua, dan pastikan tidak ada anak yang terpinggirkan karena alasan biaya.

Mengakhiri tahun ajaran memang perlu dikenang. Tapi biarlah yang dikenang itu bukan soal panggungnya, melainkan tentang bagaimana seorang anak merasa dihargai atas usahanya, diterima di tengah teman-temannya, dan disayangi oleh gurunya.

Sebagaimana kata bijak dari Prof. Arief Rachman, “Pendidikan bukan hanya soal kurikulum dan nilai akademik, tetapi tentang membentuk karakter melalui pengalaman bermakna.” Dan pengalaman bermakna itu tak selalu butuh toga dan biaya mahal. Cukup ketulusan dankebersamaan.

Mari kita bicarakan secara terbuka dan bijak. Apakah perlu ada model wisuda yang lebih inklusif, sederhana, dan tetap bermakna? Bagaimana sekolah bisa tetap memberikan momen apresiatif tanpa harus membebani orang tua? Dan yang paling penting, bagaimana kita memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil selalu berpihak pada kepentingan terbaik bagi peserta didik?

Bagaimana pandangan Anda sebagai guru, orang tua, atau pemerhati pendidikan? Apakah wisuda di jenjang PAUD, SD, dan SMP masih relevan diselenggarakan? Jika ya, seperti apa idealnya?

Silakan tuliskan pandangan Bapak/Ibu di kolom komentar. Karena pendidikan yang baik tidak lahir dari seremoni megah, melainkan dari keputusan-keputusan kecil yang penuh kesadaran dan empati.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama